Zulkifli Kurang Simpati, Sesama PWI Tidak Sehati

2 08 2010

Sepuluh tahun H. Zulkifli Nurdin memimpin Provinsi Jambi, telah banyak yang diperbuat dan dirasakan oleh masyarakat Jambi. Namun bagi kalangan wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Provinsi Jambi, tersisa beberapa cerita miris.

Selama Zulkifli Nurdin menjadi Gubernur, dana rutin untuk biaya kantor PWI yang beralamat di Jl. Jakarta Ujung, Kota Baru tidak dianggarkan dalam APBD Provinsi Jambi, jauh berbeda dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, dimana Gubernur Jambi kala itu sangat peduli dengan PWI. Organisasi wartawan ini memperoleh anggaran dari Pemerintah Daerah Provinsi Jambi melalui pos organisasi profesi.

Dalam beberapa pertemuan antara pengurus PWI dengan Zulkifli Nurdin, permohonan agar PWI memperoleh anggaran di APBD dimunculkan namun gagal total dengan alasan yang kurang jelas. Keadaan ini sungguh amat berbeda dengan organisasi PWI di provinsi lain seperti Riau, Sumbar, Sumut, Sumsel yang mendapat anggaran dari APBD-nya masing-masing.

Bahkan tanah yang diberikan Gubernur Jambi H. Abdurahman Sayoeti tahun 1994 untuk perumahan anggota PWI, di masa Zulkifli berkuasa ditarik kembali. Melalui surat yang ditanda tangani oleh Chalik Saleh, No 593/ 3442/ BP tanggal 14 Agustus tahun 2004 lalu disebutkan bahwa alasan penarikan tanah tersebut karena tidak dimanfaatkan oleh PWI selama sebelas tahun.

Sebenarnya, masalah tanah telah dicoba untuk digarap pada era Daniel Sijan (Ketua PWI Cabang Jambi tahun 1996-2000) dengan membuat surat keputusan tentang siapa-siapa yang akan menerima tanah tersebut, serta mengumpulkan dana kontribusi untuk meratakan tanah. Namun upaya itu gagal. Begitu juga zaman H. Syamsudin Noor (Ketua PWI Cabang Jambi periode 2000-2008), upaya untuk memanfaatkan tanah itu pun belum berhasil.

Pengurus PWI periode 2008–2012 juga berupaya mengurus tanah ini, secercah harapan pun muncul. Pertengahan tahun 2009 lalu saya menemui Asisten III, Fauzi Anshori dan Taufik (Bagian Perlengkapan). Dalam pembicaraan tersebut dimunculkan solusi agar PWI membagi tanah itu kepada masing-masing wartawan yang berhak mendapatkannya. Lalu masing-masing membuat surat permohonan kepada gubernur.

Ketika masalah tanah dibawa dalam rapat pengurus PWI, tidak ada kata sepakat. Ada yang berpendapat, tanah tersebut dibagi ke wartawan sesuai dengan SK yang diterbitkan Daniel Sijan. Yang lain berpendapat, tidak usah mengajukan permohonan. Sebagian lainnya dengan sinis berpendapat, tidak usah diurus saja alias biar saja tanah tersebut diambil Pemprov kembali.

Padahal kalaulah anggota PWI sepakat, mengikuti saran pejabat Pemprov waktu itu, tinggal mengikuti proses berikutnya, yakni Pemprov mengajukan pelepasan hak ke DPRD dengan ganti rugi. DPRD (mungkin) akan menyetujuinya.

Kini harapan ada di tangan Gubernur Jambi yang baru H. Hasan Basri Agus. Pada pertemuan media gathering di Hotel Tepian Ratu, bulan Ramadhan tahun 2009 lalu, beliau berjanji akan membantu PWI.

Zulkifli Nurdin adalah sosok yang memiliki perhatian besar kepada media. Bahkan Zulkifli dinilai sangat “tipis telinga”, dia dengan cepat menanggapi informasi miring apapun yang ditulis media.

Respon seperti itu patut dipuji. Media sebagai kontrol sosial berfungsi dengan baik. Persoalan di akar rumput bisa sampai kepada gubernur seketika. Laporan ABS dari bawahan dapat diminimalisir.

Di sisi lain, cepat tanggapnya Zulkifli Nurdin menyikapi pemberitaan dimanfaatkan oleh segelintir media untuk mencari keuntungan yang sangat besar. Dengan pola beritakan dulu yang miring, lalu pancing gubernur untuk mengcounter berita tersebut. Counter tersebut bukan gratis, tapi melalui pemesanan advetorial/ pariwara yang bernilai jutaan rupiah sekali terbit.

Kondisi ini ibarat penyakit yang manahun, terjadi tidak hanya satu kali. Pertengahan tahun 2009 Zulkifli Nurdin memerintahkan Humas, SKPD, dan beberapa Pemda Kabupaten agar menghentikan langanan sebuah media tertentu. Pada jumpa pers dengan wartawan di rumah PAN, Zulkifli menuding media mencari uang dengan menghalalkan segala cara.

Secara kuantitas selama 10 tahun terakhir pertumbuhan media cukup pesat di Jambi, bahkan paling hebat di bandingkan daerah lain di Sumatera. Hingga saat ini tercatat belasan koran harian (milik satu groups) dan beberapa koran mingguan serta belasan radio dan dua telivisi local.

Dari sisi kuantitas, zaman Zulkifli Nurdin adalah zaman keemasan bagi media. Tapi secara kualitas, kepatuhan terhadap kode etik jurnalistik masih harus ditingkatkan. Begitu juga dari sisi pendapatan media, masih mengandalkan kue iklan dari pemda provinsi/ kabupaten.

Akan dipertanyakan sepanjang waktu bagaimana sebuah media mampu menjalankan fungsi kontrol sosial terhadap Pemprov, bila media ternyata hidup dari jatah iklan/ advetorial yang sangat besar. Sebagai seorang jurnalis, kita mestinya lebih peka, apakah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar telah ditunaikan? Ataukah masyarakat hanya disuguhi berita yang telah dikebiri demi sepotong kue iklan/advetorial yang lezat menggiurkan? Jangan-jangan kita wartawan sedang menyenandungkan slogan, “maju tak gentar, membela yang bayar !“ (Mursyid Sonsang/Ketua PWI Cabang Provinsi Jambi)